Kesabaran itu ada batasnya

Pagi ini saya mendapati kejadian yang cukup kontras pada saat akan mulai bekerja. Terdapat dua kejadian yang menurut saya cukup unik, seperti ini kejadiannya :

Pertama, saya mendapati seorang wanita sedang mengumbar ego dan kesombongannya atas apa yang telah dicapai dan ketidakpuasannya terhadap pasangannya. Menurut dia, pasangannya ini gak becus sebagai kepala rumah tangga. Padahal, hampir semua kebutuhan rumah tangganya basically sudah terpenuhi bahkan berlebih. Mereka punya kendaraan bermotor, rumah, pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya.

Kedua, saya mendapati seorang wanita sedang curhat disebuah toko kelontong sedang meratapi nasibnya yang sengsara, hidup pas – pasan, uang gak yang didapat dari pasangan dan dirinya sendiri tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Berbagai masalah selalu mendera tanpa henti, bahkan tercetus kata – kata yang diluar dugaan saya yaitu bagaimana kalau saya menjual diri saja atau mati sekalian biar tenang tidak menanggung hidup yang seperti sekarang ini.

Saya mengamati sekilas hal ini adalah kejadian yang sangat kontras, di satu sisi wanita ini cukup arogan atas keberhasilannya sendiri dalam memperoleh materi dan berhasil menekan dan menyepelekan pasangannya dengan sedemikian rupa sehingga merasa berada diatas angin dan berlagak. Di sisi lain ada wanita yang putus harapan akan kondisi perekonomian keluarga dan berbagai masalah yang menimpanya hingga tidak sanggup untuk berdiri tegak melihat cerahnya matahari pagi yang menyinari bumi ini.

Yang saya tangkap dari keduanya ini adalah mereka sama – sama tidak sabar menghadapi hidup. Banyak orang bilang, mungkin kita juga pernah mengucapkannya “Kesabaran itu ada batasnya”. Saya dulupun juga beranggapan seperti ini, akan tetapi ternyata semua itu salah menurut saya. Memang saya tidak mempunyai dasar hukum atau apapun itu, hanya dengan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi disekitar. Seperti kasus pertama, wanita ini tidak sabar dengan kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, hingga lupa diri dan menganggap semua itu atas berkat usahanya sendiri dan tidak cocok dengan orang lain bahkan dengan pasangannya sendiri yang telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk keluarganya. pada kasus kedua, wanita ini tidak sabar dengan kekurangan yang dirasakannya.

Kesamaan dari keduanya adalah merasa sama – sama kurang terhadap sesuatu dan tidak menyadari kelebihan yang diberikan Tuhan melalui tangan – tangan perpanjangannya. Kurang mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan dan tidak pernah berterimakasih atas apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini yang menurut saya menjadi orang tidak bisa sabar menghadapi hidup.

Pada dasarnya jika kesabaran itu berbatas, maka sebenarnya kita sudah bisa dipastikan belum mengamalkan ilmu sabar. Kita hanya memendam amarah, kedongkolan, iri, dengki, dan lain sebagainya hingga pada suatu saat seperti bom waktu yang dapat meledak kapan saja dan pastinya berdampak negatif bagi semuanya. Kesabaran itu tak berbatas dan tak berujung, karena sebenarnya sabar itu kata orang jawa “lilo” atau rela menerima keaadan ini. Dengan menerima kenyataan semanis atau sepahit apapun bentuknya kita masih dalam batas kontrol diri untuk tidak mempunyai perasaan yang meledak – ledak. Entah ini benar atau tidak tapi itu yang saya rasakan, semoga uraian ini tidak memusingkan yang membaca dan dapat menangkap pesan yang ingin saya sampaikan.

Leave a comment